Smashnews, Pasuruan — Turnamen Madinah Van Java Championship 2025 di Kota Pasuruan kini menuai sorotan publik. Bukan karena prestasi para pesilat, melainkan karena besarnya biaya pendaftaran yang dinilai memberatkan. Ironisnya, ketika masyarakat mempertanyakan dasar pungutan biaya tersebut, pihak Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Kota Pasuruan justru menyebut bahwa seluruh urusan diserahkan kepada event organizer (EO).
Ketua IPSI Kota Pasuruan, H. Farid Misbah, menegaskan bahwa penyelenggaraan kejuaraan itu bukan urusan organisasinya. “Kami tidak menyelenggarakan langsung. Semua dilakukan EO. IPSI hanya memberikan rekomendasi,” ujarnya, Kamis (9/10/2025). Namun pernyataan tersebut justru menimbulkan tanda tanya besar. Jika IPSI hanya memberi rekomendasi, lalu siapa yang memastikan kegiatan itu berjalan sesuai prinsip keolahragaan dan tidak memberatkan peserta?
Padahal, sebagai organisasi resmi di bawah naungan KONI, IPSI memiliki tanggung jawab moral dan administratif untuk memastikan setiap kegiatan yang membawa nama pencak silat berjalan sesuai aturan dan semangat pembinaan atlet muda. Dalam praktiknya, kegiatan olahraga yang mencantumkan nama organisasi resmi tetap harus tunduk pada prinsip akuntabilitas dan transparansi, meski dikerjakan oleh pihak ketiga.
Tarif yang ditetapkan EO mencapai ratusan ribu rupiah per peserta, yakni Rp 300 ribu untuk kategori tunggal, tanding, dan solo kreatif; Rp 500 ribu untuk kategori ganda; serta Rp 700 ribu untuk kategori regu. Biaya tersebut dianggap wajar oleh pihak penyelenggara dengan alasan untuk honor wasit, juri, dan biaya operasional. Namun di lapangan, sejumlah perguruan kecil mengaku keberatan. Bagi mereka, biaya setinggi itu menjauhkan esensi olahraga bela diri dari semangat kebersamaan dan pembinaan akar rumput.
Dalih bahwa “semua diurus EO” seolah menjadi cara mudah melepaskan tanggung jawab. Namun perlu diingat, setiap kegiatan olahraga yang melibatkan nama organisasi publik harus memiliki dasar hukum dan transparansi penggunaan dana. Tanpa pengawasan, ajang olahraga rawan berubah menjadi kegiatan beraroma komersial, bukan pembinaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan organisasi olahraga bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan olahraga di wilayahnya. Pasal 52 ayat (3) juga menyebut bahwa penyelenggaraan olahraga harus menjamin keterjangkauan, keadilan, dan tidak diskriminatif. Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan menggarisbawahi bahwa kegiatan olahraga wajib menjunjung asas pembinaan dan non-komersialisasi.
Artinya, alasan menyerahkan seluruh kegiatan kepada EO tanpa mekanisme pengawasan dapat bertentangan dengan semangat undang-undang. Terlebih jika dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut digunakan nama lembaga publik atau pejabat daerah, maka tetap berlaku prinsip transparansi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Olahraga bela diri seperti pencak silat seharusnya menjadi wadah pembentukan karakter ksatria, disiplin, dan sportivitas. Namun ketika semangat itu tergeser oleh urusan biaya dan bisnis, kejuaraan kehilangan makna. Setiap rupiah yang dipungut dari peserta seharusnya punya dasar yang jelas dan terbuka, bukan sekadar keputusan internal tanpa pengawasan publik.
Kini publik Pasuruan berhak bertanya: apakah semangat olahraga rakyat telah berubah menjadi proyek komersial bersertifikat resmi? Dan apakah IPSI masih berdiri sebagai penjaga nilai-nilai olahraga, atau hanya menjadi penonton di pinggir arena?
(Rah)