Smashnews, Kota Pasuruan— Seorang mantan warga binaan Lapas Kelas IIB Pasuruan memecah kebisuan dengan kesaksian yang memantik sorotan publik. Ia mengaku menyaksikan serangkaian praktik yang diduga ilegal dan berlangsung sistematis. Mulai dari penggunaan ponsel yang diduga dibiarkan bebas, peredaran minuman keras, hingga pungutan jutaan rupiah yang diduga menjadi syarat “keamanan” bagi sejumlah narapidana.
Dalam kesaksiannya, dua ponsel disebut beroperasi bebas di blok C dan F. Salah satunya diduga dikendalikan napi berinisial Nt untuk mengatur transaksi sabu dari kamar C1. “Bahkan setelah razia, ponsel itu tetap hidup,” ujarnya. Padahal, aturan PP 99 Tahun 2012 secara tegas melarang warga binaan menguasai alat elektronik tanpa izin, namun di dalam lapas perangkat itu diduga menjadi alat kendali yang mudah diakses.
Kesaksian tersebut juga memunculkan dugaan peredaran minuman keras. Arak disebut dipindahkan ke dapur lapas dan diduga dikoordinasikan oknum petugas berinisial A. Dua petugas Kamtib, H dan W, diduga kerap menjadi perantara pemesanan miras bagi napi tertentu. “Semua orang tahu jalurnya, tapi tidak ada yang berani bicara,” kata sumber itu.
Dugaan pungutan liar juga mencuat. Sejumlah keluarga napi diklaim harus membayar jutaan rupiah agar urusan administrasi berjalan mulus, termasuk remisi, cuti bersyarat, hingga pembebasan bersyarat. Untuk napi berinisial Md, keluarganya disebut menyetor hingga ratusan juta rupiah karena takut ia dipindahkan setelah hasil tes urine diduga bermasalah. Menurut sumber tersebut, ancaman pemindahan kerap menjadi alat tekan terhadap keluarga napi.
Seorang eks napi senior menyebut perubahan pola penghukuman kini diduga semakin keras dan tidak proporsional. “Dulu dihukum seperlunya. Sekarang seperti mau dibinasakan,” ujarnya.
Praktisi hukum Ridwan Vatarudin SH menilai kesaksian itu tidak bisa dianggap rumor. Menurut dia, rincian dugaan pelanggaran justru mengindikasikan adanya persoalan yang diduga sistemik. “Ada pola, ada alur, dan ada nama. Itu menunjukkan masalahnya bukan sporadis, tapi sistemik,” katanya. Ia mendesak Kemenkumham dan lembaga pengawas independen melakukan penyelidikan terbuka. “Kalau terbukti, napi maupun petugas harus diproses pidana. Lapas adalah institusi negara, bukan ruang gelap.”
Pihak Lapas IIB Pasuruan membantah seluruh tuduhan. Mereka menegaskan razia dilakukan rutin dan seluruh prosedur berjalan sesuai standar serta dilaporkan berkala kepada Ditjen Pemasyarakatan. Namun kontras antara kesaksian eks warga binaan dan bantahan tersebut membuat tekanan publik semakin menguat. Tanpa audit independen, keraguan terhadap tata kelola pemasyarakatan di Lapas Pasuruan diduga akan terus mencuat.
(Red)
