Smashnews, Kota Pasuruan - Pagi itu, suasana di Samsat Kota Pasuruan tampak seperti hari-hari biasa: warga berbaris panjang, petugas loket bekerja cepat, suara pengeras terdengar datar mengumumkan nomor antrean. Namun di balik alur pelayanan yang tampak tertib, terdapat pemandangan kontras: beberapa lelaki mondar-mandir membawa tumpukan berkas kendaraan, keluar-masuk ruangan pelayanan tanpa harus mengantre seperti warga umum. Dari hasil pengamatan lapangan, aktivitas mereka *diduga* jauh lebih dekat dengan praktik percaloan ketimbang pelayanan resmi.
Keberadaan para pembawa berkas dalam jumlah banyak ini memunculkan tanda tanya: siapa mereka, untuk siapa berkas itu, dan mengapa mereka bisa bergerak dengan begitu leluasa melewati antrean? Salah satu di antaranya mengirim amplop berkas dalam jumlah besar ke meja tertentu, kemudian kembali lagi membawa tumpukan lainnya. Ketika ditanya, seorang petugas di Samsat menjawab singkat, “Itu semua berkas dari dealer.” Penjelasan itu tidak serta-merta meredam dugaan adanya jalur khusus.
Dugaan praktik percaloan makin menguat ketika seorang petugas pria bernama Iwan yang berada di sekitar area pelayanan menjelaskan pola distribusi berkas di Samsat. Ia menyampaikan bahwa pengaturan semacam itu sudah memiliki “jatah mingguan”. “Di sini, wartawan saja ada jatahnya. Seminggu itu 12. Tapi sekarang kuotanya nggak ada, habis. Semuanya sudah disepakati satu koordinator,” ujarnya. Pernyataan itu membuka pintu pada kemungkinan adanya sistem distribusi kuota dan koordinasi non-resmi yang bekerja di balik pelayanan publik.
Selain dugaan calo yang bebas keluar-masuk, warga juga mengeluhkan tarif layanan fotokopi di area Samsat yang dinilai tak wajar. Satu berkas bukan per lembar dihargai Rp10 ribu. Tarif ini memicu pertanyaan soal transparansi harga dan pengawasan fasilitas penunjang di dalam area pelayanan publik. Jika fotokopi saja tidak memiliki standar harga, bagaimana publik bisa yakin bahwa layanan inti bebas dari pungutan liar?
Jika benar terjadi, pola-pola tersebut berpotensi melanggar ketentuan hukum. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa layanan pemerintah wajib bebas dari praktik percaloan, pungutan liar, dan penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, Permendagri tentang penyelenggaraan administrasi kendaraan bermotor menuntut transparansi, akuntabilitas, dan prioritas pelayanan kepada masyarakat umum tanpa diskriminasi.
Akan tetapi, praktik di lapangan justru *diduga* menunjukkan superioritas jalur lain di luar antrean resmi. Warga yang datang sejak pagi hanya bisa menunggu dengan sabar, sementara mereka yang membawa berkas dalam jumlah besar tampak dapat mengakses pelayanan tanpa hambatan. Dugaan adanya “koordinator” yang mengatur distribusi berkas secara informal memperlebar jurang ketidakadilan layanan.
Liputan ini belum mampu mengonfirmasi siapa pihak yang disebut sebagai koordinator tersebut serta bagaimana mekanisme jatah yang disebut Iwan dapat bekerja. Namun pola yang tampak mengindikasikan bahwa ruang pelayanan publik di Samsat Kota Pasuruan bukan hanya tempat bagi masyarakat mengurus kewajiban pajak, tetapi juga arena dengan struktur informal yang bekerja paralel.
Sampai berita ini diturunkan, pihak Samsat Kota Pasuruan belum memberikan keterangan lengkap terkait dugaan praktik percaloan, jalur berkas dealer, maupun tarif fasilitas penunjang di dalam area layanan. Publik menunggu respons resmi, audit internal, serta penertiban bila terbukti telah terjadi penyimpangan.
Di tengah dorongan reformasi pelayanan publik, temuan-temuan semacam ini menjadi ujian penting. Apakah kantor pelayanan mampu berdiri tegak di atas asas keterbukaan dan keadilan? Atau justru membiarkan ruang-ruang gelap yang menggerogoti integritas lembaga tetap hidup?
(Red)
