-->

Notification

×

Indeks Berita

Mahasiswa Informatika dan Tugas Moral di Tengah Revolusi Teknologi.

10 Nov 2025 | November 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-10T14:00:15Z

Oleh: Akbar Hernandi Condro Wibowo

Fakultas Teknik Informatika, Universitas Muhammadiyah Malang

Smashnews, Pasuruan, Senin 10 November 2025 - Teknologi berkembang lebih cepat dari kemampuan kita untuk memahaminya. Dalam sepuluh tahun terakhir, dunia sudah berubah drastis—dari machine learning, cloud computing, sampai big data. Otomatisasi kini hadir di mana-mana, membuat hidup manusia lebih mudah, tapi sekaligus menimbulkan pertanyaan baru: siapa yang memastikan semua teknologi ini tetap berpihak pada manusia?

Jawabannya, salah satunya, ada di tangan para mahasiswa Informatika—calon arsitek dunia digital yang akan membentuk masa depan. Mereka tidak hanya dituntut untuk menjadi coder hebat, tapi juga penjaga moral dan etika di tengah derasnya arus inovasi.

Mahasiswa hari ini tumbuh di dunia yang penuh dengan teknologi cerdas. Ada asisten virtual yang bisa berbicara, sistem rekomendasi yang tahu apa yang kita suka, dan kecerdasan buatan seperti ChatGPT yang bisa menulis, mendesain, bahkan membuat musik. Namun, di balik kemudahan itu muncul dilema baru: plagiarisme digital, manipulasi informasi, pelanggaran privasi, hingga penyalahgunaan data pribadi. Maka dari itu, kemajuan teknologi harus berjalan beriringan dengan kesadaran etis. Teknologi memang bisa membuat segalanya lebih efisien, tetapi tanpa nilai kemanusiaan, efisiensi justru bisa berubah menjadi bahaya.

Banyak orang mengira profesionalisme di dunia teknologi hanya tentang kemampuan teknis. Padahal, menjadi profesional berarti memiliki integritas dan tanggung jawab terhadap dampak sosial dari setiap keputusan yang diambil. Sebuah keputusan kecil dalam desain sistem bisa memengaruhi jutaan orang—mulai dari privasi pengguna hingga keadilan sosial.

Kode etik yang dirumuskan oleh Association for Computing Machinery (ACM) mengingatkan bahwa setiap pekerja TI wajib berbuat baik untuk kepentingan publik, menghindari tindakan yang merugikan, menjunjung kejujuran dan keadilan, serta menjaga privasi dan kerahasiaan data. Prinsip-prinsip itu bukan sekadar teori di kelas, tetapi harus menjadi kompas moral di dunia profesional.

Perguruan tinggi punya peran besar dalam membentuk profesional IT yang beretika. Sayangnya, banyak mahasiswa masih lebih fokus pada hal-hal teknis—belajar bahasa pemrograman baru, framework keren, atau mengejar sertifikasi—sementara dimensi etika sering terlupakan. Padahal, di dunia kerja nanti, dilema moral bisa jauh lebih rumit. Haruskah kita melaporkan celah keamanan yang bisa dimanfaatkan orang jahat? Apa yang harus dilakukan jika perusahaan meminta akses data pengguna tanpa izin mereka?

Karena itu, pendidikan etika profesi seharusnya menjadi bagian integral dari kurikulum Informatika. Bukan sekadar mata kuliah formal, tapi wadah untuk berpikir kritis tentang dampak sosial teknologi. Lokakarya, diskusi panel, hingga proyek sosial berbasis teknologi bisa menjadi cara efektif menanamkan nilai-nilai profesionalisme sejak dini.

Etika tidak hanya dipelajari, tapi juga dipraktikkan. Mahasiswa bisa mulai dari langkah-langkah kecil: tidak menggunakan AI untuk mengerjakan tugas tanpa izin dosen, menjaga kejujuran akademik, dan mengedukasi masyarakat tentang keamanan data serta literasi digital. Langkah sederhana seperti ini justru menjadi fondasi penting dalam membangun budaya profesionalisme di dunia digital.

Revolusi AI menuntut bukan hanya inovasi, tetapi juga tata kelola etis. Pemerintah dan industri perlu menempatkan etika di jantung kebijakan—bukan hanya pelengkap. Indonesia perlu segera membangun standar etika nasional untuk pengembangan AI, sistem perlindungan data pribadi yang kuat, serta kolaborasi antara kampus, industri, dan lembaga riset agar tata kelola AI lebih transparan dan inklusif.

Di sisi lain, kampus harus menjadi teladan dalam penerapan etika akademik dan digital. Mahasiswa pun perlu sadar bahwa tanggung jawab moral tidak dimulai saat mereka bekerja, tapi sejak menulis baris kode pertama di bangku kuliah.

Di tengah gelombang besar revolusi teknologi, mahasiswa Informatika punya misi ganda: menjadi pembelajar teknologi sekaligus penjaga nilai-nilai kemanusiaan. Dunia tidak hanya butuh penemu brilian, tapi juga manusia yang bijak dan berempati. Tanpa nilai moral, teknologi hanya akan mempercepat krisis kemanusiaan.

Menjadi profesional di bidang Informatika adalah kehormatan—sebuah panggilan untuk memastikan bahwa AI dan teknologi masa depan tetap menjadi alat bagi manusia, bukan sebaliknya.
(Rah)
×
Berita Terbaru Update