Smashnews, Kota Pasuruan — Kekerasan kembali mencoreng Kota Pasuruan. Seorang anggota perguruan pencak silat berinisial W menjadi korban penganiayaan oleh dua oknum polisi pada Sabtu malam, 15 November 2025, sekitar pukul 21.28 WIB di halaman Masjid Baiturahman, Purutrejo, Kecamatan Purworejo. Dugaan penyerangan itu berlangsung cepat dan brutal, meninggalkan warga dalam ketakutan.
Keterangan yang dihimpun dari saksi di lokasi menyebutkan bahwa W saat itu sedang melatih murid-muridnya ketika terdengar keributan di pertigaan dekat masjid. Ia menghampiri tiga orang yang berlari panik dan menanyakan apa yang terjadi. Tak lama kemudian, dua oknum polisi datang mengendarai Honda Scoopy dan langsung menyerang tanpa memberikan peringatan.
Salah satu oknum memukul W berkali-kali menggunakan selang dan menarik paksa baju korban hingga terlepas. “Korban hanya bertanya ada apa, tapi dua polisi itu langsung menggebuk,” kata seorang saksi yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Akibat peristiwa tersebut, W mengalami memar di bagian punggung. Dan sikorban tidak bisa melakukan kegiatan sehari-harinya dengan normal. Korban mengaku ketakutan dan memilih tidak melapor pada malam kejadian. Ia baru membuat laporan resmi pada Senin, 17 November 2025, setelah mendapatkan pendampingan dari Ridwan Vatarudin, S.H., Ketua LHA (Lembaga Hukum Advokasi) dari Perguaan Silat Korban. Ridwan menyebut korban membutuhkan perlindungan hukum agar terhindar dari kemungkinan intimidasi.
Dalam keterangan resminya, Ketua LHA (Lembaga Hukum Advokasi), Ridwan Vatarudin, S.H., menegaskan bahwa tindakan dua oknum polisi tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. “Apa yang dialami saudara W adalah bentuk kekerasan yang jelas melampaui kewenangan aparat. Kami memastikan laporan ini tetap berjalan dan korban mendapatkan perlindungan hukum yang layak,” ujarnya.
Ridwan menjelaskan bahwa pemukulan terhadap warga tanpa dasar hukum termasuk pelanggaran pidana. Ia menekankan bahwa oknum polisi tidak memiliki hak melakukan tindakan represif tanpa prosedur yang sah. Menurutnya, perbuatan tersebut melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta aturan internal kepolisian.
Dasar hukum yang ia sebutkan antara lain pasal-pasal dalam KUHP mengenai penganiayaan, ketentuan yang memperberat hukuman bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang, serta Undang-Undang Kepolisian yang mewajibkan setiap anggota Polri bertindak berdasarkan hukum, menghormati hak asasi manusia, dan menjunjung profesionalitas. Ridwan juga menyinggung aturan internal Polri yang melarang penggunaan kekerasan yang tidak diperlukan dan tidak proporsional.
Ia menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh berhenti di tengah jalan. “Kami akan mengawal sampai tuntas. Negara tidak boleh membiarkan tindakan kekerasan oleh aparat terhadap warga sipil, terlebih dilakukan di area rumah ibadah. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi pelanggaran hukum yang serius,” kata Ridwan.
Warga Purutrejo mengecam insiden tersebut. Mereka mempertanyakan bagaimana kekerasan oleh oknum polisi bisa terjadi di halaman masjid, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi masyarakat. “Kalau ini terjadi di rumah ibadah, siapa yang bisa menjamin keamanan kami?” ujar seorang tokoh warga.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak kepolisian setempat belum dapat dimintai keterangan. Upaya konfirmasi yang dilakukan oleh redaksi masih belum mendapatkan respons. Status identitas dan institusi tempat kedua oknum tersebut bertugas juga belum diklarifikasi oleh pihak Polri.
Informasi dalam berita ini berdasarkan keterangan saksi dan penjelasan pendamping hukum korban. Proses pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi masih berlangsung, dan perkembangan kasus akan diperbarui sesuai temuan terbaru.
(Red)
